Selasa, 06 Oktober 2009

Pak Umar di Depan Televisi


PAK Umar terpaku di depan televisi. Sambil menghirup inhaler, ia beberapa kali menghela nafas panjang. Dadanya terasa berat. Baru saja ia menyaksikan berita tentang perkelahian anak-anak pelajar. Ada geng perempuan (anak-anak gadis pelajar yang tentu sangat dibanggakan ibunya) yang berkelahi bagaikan kaum barbar. Beberapa pelajar lelaki menyorakinya, dua-tiga orang di antaranya bukannya melerai, tapi malah berlagak sebagai wasit. Dan yang lainnya merekam adegan itu dengan kamera telepon genggam. Masya Allah.

Berita beralih, yang ia lihat adalah suasana di ruang kelas. Seorang pelajar lelaki, yang nampak meringis tak berdaya, dilucuti pakaiannya hingga telanjang. Bukan oleh begundal dari negeri kaum bajingan, tapi oleh temannya-temannya sendiri yang kesetanan. Dan anehnya, ruang kelas dan juga lingkungan sekolah itu nampak aman sentausa bagi berlangsungnya kekejian itu. Kamera telepon genggam, merekam adegan itu dengan detil.

Belum lama ini, geng perempuan lain juga beramai-ramai menyiksa “anggota baru”. Pak Umar melihatnya di berita semua televisi nasional. Hal-hal busuk lain, dari lingkungan pendidikan seakan silih berganti muncul mengisi ruang keluarga kita. Kemajuan teknologi, menjadi perantara yang memperluas berita menyesakkan dada itu.

Pak Umar, yang kini menikmati masa tuanya dengan gaji pensiun pas-pasan, berlinang airmatanya. Puluhan tahun ia mengabdikan dirinya menjadi guru, menyusuri jalan desa yang berdebu bila kemarau, dan beceknya minta ampun bila musim hujan, sebelum tiba di depan bangunan sekolah sederhana, tapi selalu membuatnya bangga.

Baginya, inilah kehidupan yang sesungguhnya. Tempat di mana ia bisa mengabdikan kecintaan terhadap dunia pendidikan. Tempat di mana ia bisa dengan jelas melihat perkembangan jiwa muridnya, jiwa manusia-manusia yang mentah, polos, dan ia menjadi salah seorang yang turut membentuk jiwa-jiwa itu. Bayangkan, betapa mulianya.

Membentuk jiwa manusia, tidak seperti membentuk tanah lempung jadi benda semacam piala. Ia membutuhkan ketulusan, pengabdian, ketekunan, keteguhan iman, dan cinta yang keras kepala. Murid-muridnya tak hanya dijejali ilmu pengetahuan, tapi juga budi pekerti. Ia tak hanya “menyentuh” otak murid-muridnya, tapi juga hati mereka. Ini penting, karena kecerdasan tanpa kerendahan hati, tanpa kematangan jiwa, hanya akan melahirkan binatang sirkus.

Semua itu dikerjakannya karena ia seorang guru, profesi yang selalu lebih tinggi posisinya dibanding profesi lain. Guru, menurut Pak Umar, seharusnya adalah wujud dari kemuliaan, yang bahkan tak membutuhkan sertifikasi, atau sejenis omong kosong lainnya.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar