Selasa, 20 Oktober 2009

foto minggu ini



Kesenian Lais dari Kabupaten Tasikmalaya, saat bermain di lapangan Unsil. Memperlihatkan berbagai akrobat di atas ketinggian 12 meter.

Kamis, 08 Oktober 2009

Pers Tasik Tempo Dulu


Dalam sejarah pers, Tasikmalaya pun punya tempat tersendiri. Di kota ini pernah terbit beberapa surat kabar dan majalah berpengaruh pada jamannya.

Salah satunya adalah Al-Imtisal, yang terbit tahun 1925 sampai tahun1940. Surat kabar ini diterbitkan 3 kali sebulan oleh Perkumpulan Guru Ngaji Tasikmalaya, dengan pelindung R.A.A. Wiratanoeningrat, bupati Tasikmalaya. Pada tahun 1934 pernah menjadi mingguan, tapi pada tahun 1936 kembali terbit 3 kali sebulan. Alamat redaksi dan administrasinya di rumah R.H.M. Saleh (Memed) yang dikenal sebagai Kiai Babakan Sumedang, di Stationweg 41A, Tasikmalaya.

Tahun 1940 surat kabar ini mulai dipimpin oleh seorang pemimpin redaksi (hoofdredactie) yakni H.M. Zarkasie, yang beralamat di Jajaway. Sayang sekali, pada tahun berikutnya, Al-Imtisal tidak berlanjut terbit.

Dalam setiap nomornya “Soerat kabar agama Islam” ini berisi cukup lengkap. Mulai tulisan yang membahas fiqih, tafsir Al-Qur’an, ruang untuk menjawab pertanyaan pembaca seputar agama Islam, ruang untuk bacaan anak-anak, dll. Dalam Ensiklopedi Sunda disebutkan, bahwa sejak nomor pertama dimuat juga feuilleton (dongeng) Malik Sep bin Diyazin yang baru tamat setelah 406 kali muat (1925-1938). Setelah dongeng tersebut tamat, diganti dengan cerita Futuhusysyaam. Dalam setiap cerita yang dimuat banyak petikan ayat-ayat Al-Qur’an yang ditulis dalam huruf Arab disertai salinannya dalam Bahasa Sunda.

Selain Al-Imtisal, di Tasikmalaya juga pernah terbit Al-Moechtar, majalah bulanan berbahasa Sunda. Mulai terbit 1933, dan berhenti sekitar tahun 1940. Majalah yang ‘berkantor’ di Gunung Sabeulahweg, Tasikmalaya, ini diasuh oleh rengrengan kiai. Redaksinya adalah H.M. Pachroerodji, yang dikenal sebagai Kiai Sukalaya. Sedangkan administrasi dipegang oleh seorang guru madrasah Al Hidayah, H.M. Tadjoedin.

Para penulis yang membantu majalah ini antara lain H.M Sudja’i, ajengan Kudang Tasikmalaya; R.H.M Dimjati, Ajengan Sukamiskin Bandung; R.H.M Adjhoeri, ajengan Manonjaya; H. Ahmad Sanusi, ajengan Tanahtinggi Batavia; R. Achmad Hidajat, ajengan Cikoneng Ciamis; H.M. Bakri, ajengan Cikalong Tasikmalaya, dll.

Majalah ini banyak memuat tafsir Al-Qur’an, hadis dengan terjemahannya, serta kutipan dari kitab Ihya Ulumuddin, Al-Barjanzi, Tuhfah, Burdah, Burhan, Riyadushshalihin, dll. Juga khutbah dan tanya jawab mengenai masalah agama. Selain itu dimuat juga hikayat Sayidina Ali, hikayat Hasib Karimuddin, dll, yang sebagian berbentuk dangding. Iklan? Tentu saja ada, meski terbatas pada iklan buku-buku agama dalam bahasa Sunda.

Surat kabar berbahasa Sunda Sipatahoenan, yang mula-mula terbit mingguan, terbit pertama kali tahun 1923 di Tasikmalaya, sebelum kemudian pindah ke Bandung sebagai pembawa suara Paguyuban Pasundan. Pada masa sebelum perang Sipatahoenan termasuk pers pergerakan nasional yang terkemuka, terutama karena berita-beritanya yang berani mengemukakan kenyataan kehidupan rakyat dan karena simpatinya yang terbuka saat Soekarno menghadapi pengadilan kolonial.

Saat pendudukan Jepang, Sipatahoenan dilarang terbit. Setelah pendudukan koran ini terbit kembali, tapi tidak bisa sesukses sebelumnya. Bahkan tahun 1967, Sipatahoenan yang mengandalkan subsidi kertas dari pemerintah, berhenti terbit karena subsidinya dihentikan. Upaya untuk menghidupkan kembali Sipatahoenan pernah dilakukan hingga tahun 1971 dengan pimpinan dan redaktur yang baru, namun tetap tidak bisa berlangsung lama.

Pada masa revolusi di Tasikmalaya juga pernah terbit Soeara Merdeka, surat kabar berbahasa Indonesia yang menyuarakan semangat kemerdekaan dan membela kepentingan RI yang baru diproklamirkan. Mulanya koran ini terbit di Bandung, 17 September 1945. Bulan November 1945, karena bencana banjir melanda Bandung, kantor redaksi pindah ke Jl. Galunggung No. 46 Tasikmalaya. Saat Belanda melakukan agresi militer I (21 Juli 1947) dan menduduki Tasikmalaya, koran yang dipimpin oleh Moh. Kurdi ini diberangus. (Nazaruddin Azhar)***

Masjid yang Mesra


SEKIAN tahun lalu, masjid di kampung kami adalah sebuah bangunan sederhana. Separuh tembok dengan lantai plester semen, dan ke atasnya dibangun dari kayu dan bilik bambu. Yang paling menarik adalah atapnya yang tak berkubah, hanya ada bentuk suhunan kecil di atas atap yang lebih lebar. Suhunan itu menjadi semacam menara, dengan ruang berbentuk kotak sekira 2,5 m x 2,5 m. Inilah kubah dari masjid yang dibangun dengan swadaya murni warga kampung itu. Tanpa dinding, hingga selain mempunyai fungsi artistik, ia juga menjadi tempat menyimpan spiker toa.

Suhunan itu adalah sebentuk kemesraan antara masjid sebagai rumah ibadah, dengan kultur lokal di mana masyarakat berada. Bentuknya sederhana, tapi mampu menyatu dengan lingkungan, dengan rumah-rumah penduduk, dengan bangunan lain semisal bale kampung dan sekolah dasar.

Tak hanya di kampung kami saja, di kampung lain pun, yang masih berdekatan, bentuk menara masjid ya seperti itu. Tak ada menara yang menjulang, atau kubah berbentuk bawang yang mengkilap. Tapi demikianlah, masjid itu telah menjadi bagian dari kultur budaya kami, budaya Sunda yang mempunyai kekhasan dalam bentuk bangunan. Mungkin juga bentuk semacam itu ada pengaruh dari daerah lain, semisal dari daerah Jawa Tengah atau Jawa Timur, tapi toh tetap masih bersumber dari satu hamparan budaya.
Masjid itu sendiri, secara keseluruhan, adalah sebentuk keakraban dan keramahan. Di masjid itu, masa kecil generasi di kampung kami separuhnya dihabiskan. Tidak hanya belajar mengaji, tapi juga tidur dan bermimpi, dan mungkin secara diam-diam merancang masa depan. Siapapun yang kemalaman, bisa singgah dan beristirahat di sana. Pintu selalu bisa dibuka kapan saja. Tak ada yang takut kehilangan sesuatu, karena nyaris tak ada barang berharga, selain puluhan kitab suci Al Qur’an, dan perangkat pengeras suara.

Kini semuanya berubah. Kubah mentereng dibangun dengan pola yang diangkut dari Timur Tengah, yang sejak lama menjadi tren pembangunan masjid di negara ini. Hanya dalam literatur sejarah bisa kita lihat masjid dengan bentuk yang lebih “membumi”. Sebagai rumah ibadah ia masih selaras fungsinya, tapi bentuk arsitekturalnya telah tercerabut dan menjauh dari kultur budaya lokal.

Mungkin hal itu bukan sebuah kesalahan, tapi kok terasa ada yang hilang dari masjid yang baru itu. (Naz)***

Selasa, 06 Oktober 2009

dil se*

setelah ledakan dan api membakar hangus raga kita
apakah kau masih merasa, debu yang bercampur
akan terus saling bertentangan? Cinta yang utuh
dalam dekapan sesaat itu, telah jadi gerbang untuk sebuah
lakon lain, mungkin sejarah panjang yang kelak tersurat
di puing salju, tercetak di lembar suhu yang melapis tembok beku
di udara pasar di mana setiap orang sempat kehilangan makna tegur sapa
di corong-corong suara setelah tak ada lagi ketakutan
untuk mengakui segala kealfaan

tak akan ada barisan yang lewat. Sebuah parade atau hymne
atau para pelayat. Hanya sepasang sayap untuk kemerdekaan
yang tak akan lagi dirisaukan. Di tanah-tanah pertaruhan telah terkubur
jasad kita yang lain. Dan nyanyian anak-anak di sebuah perayaan
akan sampai gemanya. Delapan bocah yang tak terlahirkan. Kain sari
yang akan tetap terlipat di awan sebuah stasiun pertemuan
dan tumpahan dua gelas teh panas di alir hujan. Gerincing gelang kaki
yang pernah kautanggalkan saat kaulewati tubuh-tubuh mongering
akan kaudengar kembali di antara lantun doa di kuil-kuil pengharapan

di deru darah lukamu sebuah perahu telah memilih kebebasan
tidak dengan seikat bom bunuh diri, tapi dengan tafsir lain yang hadir
saat sepi, saat pepujian dilangunkan, saat tak ada harap lain…


2002

*) judul sebuah film karya sineas India terkemuka Mani Ratnam (1998)

remah-remah cahaya

bulan yang terbunuh di siang gelap
ruhnya berkelebat di atas atap
digapai sebatang pohon gaib
yang tumbuh dari ubin
dan memecah langit-langit


angin melolong dari kobaran api sebuah hutan
memanggili mataair pada sebuah lukisan
di mana kuikatkan kelabu rambutku
di mana senantiasa kuhirup bau ruang tunggu
sekarat hening yang disentuh dentang lonceng
dari kedalaman dinding

sepotong tikungan yang terbakar, mayat bulan
terkubur nyanyian kehampaan. Kukenang

o, usia yang merangkai remah-remah cahaya
yang ditaburkan ingatanku padanya!


1994-2007

menujumu

kuburu dekatmu, kelebat paras di gemuruh silam cakrawala
awan hitam memusnahkan bayanganku dan di sepanjang jalan
bertumbuhan tiang-tiang kegelapan. Kupacu sisa nyawaku
tubuh yang bukan milikku selalu ingin menyeret ke arah berbeda
tapi menujumu bukanlah rindu yang sia-sia

kuburu adamu. Tawa orang-orang tak bernama di palung senja
bagai bubu. Cinta fakirku meliatkan ingatan untuk seluruh waktu
yang bukan milikku. Dan di seberang segala kemusnahan
setubuh sepimu adalah ketelanjanganku
di mana segenap keliaran tak terbinasakan

telah kulewati bekas telaga yang tak pernah usai itu
bangkai perahu kini dihuni beribu hantu. Lampu-lampu
menyimpan gerimis tak pernah lunas menyapu gelap
di ujung mabukku. Di nadiku seekor anjing menyimpan salaknya
saat sejenak kuserahkan letihku pada sebuah rambu
mungkin di situ pernah tergambar wajahmu, dengan tatapan aneh
ketika nyaris saja seluruh malam menampikmu sebagai ibu
ya, aku menujumu. Di sebuah mana kutahu kau akan selalu menunggu
dan sebagai penghiburan bagi cinta yang tak pernah bisa kumusnahkan kubayangkan kau tersenyum menggenapkan mimpi dan kegilaan ini
seperti sepi yang telanjur memiliki adaku

telah kulewati bekas belantara di mana kini tumbuh benih nyawa
dari sekumpulan iblis yang dulu berbaris di belakangku
mereka setia sebelum kibaran kutukmu membatukan berahiku
tak kudengar suara tambur. Kini tak kukenali keturunan mereka
yang kebuasannya semakin modern, dengan ketakutan
disembunyikan sempurna, di balik kilatan belati atau pistol
di samping kelamin. Telah kutanggalkan semua selain getar
di kilat mata debu. Dan di tiang-tiang kegelapan
kusimpan tanda, sepercik cahaya dari pendar mata anjing itu
sebelum ajalnya kusempurnakan sepenuh cintaku. Mungkin nanti
ada yang mencari jejakku, para pemuja atau para pembenci
biarkan mereka tahu, berabad lamanya kuburu hadirmu
melewati ketiadaan demi ketiadaan, dan kau tahu, Sumbi
betapa menyakitkan merindukanmu
dari sebuah dongeng panjang tentang kemalangan

kuburu kuburku. Kuburu makam terdekat dari perasaanku padamu
di bekas telaga ini, di antara bau tubuh para pelayat
aku serupa ikan dengan sirip yang terus tumbuh
sekaligus melukai sekujur hatiku, di mana gema nafasmu
tak juga reda membunuh dan melahirkanku


2007

P r o s e s


HIDUP menawarkan banyak pilihan. Tapi bagi banyak orang, kadang satu pilihan saja sudah cukup. Atau, mungkin juga pilihan yang satu itu, adalah arah terakhir yang dituju setelah yang lain bak jalan buntu. Karena memang demikianlah hidup, ia memberi kita banyak, tapi sekaligus juga dengan sekian rahasia di dalamnya. Antara lain, rahasia tentang sesusah apa dan bagaimana kita bisa meraih satu di antara cabang-cabang pilihan itu.

Carpe diem, kata Mr. Keating, dalam film Dead Poet Society. Raihlah harimu. Dengan kata lain, raihlah harapan di hari ini, karena kita tak pernah tahu, apakah masih ada esok.

Tak ada pengertian yang mudah untuk menjelaskan esensi dari harapan pada diri seseorang. Ada yang hanya ingin mendapatkan sesuatu dengan menghargai proses yang benar-benar bisa menyenangkan hatinya. Dan banyak pula yang tak peduli bagaimana semua itu dilakukan, yang penting hasil akhir. Bentuk yang diharapkan ada di hasil akhir itu, proses hanya sebentuk jalan yang bisa diluruskan dengan berbagai cara. Kita mengenalnya sebagai jalan pintas. Entahlah, begitu banyak orang yang berharap bisa melewati jalan pintas itu, dan tak mau bersusah payah menjalani proses sebagaimana mustinya.

Maka, kita pun mengenal kasus penyuapan, dengan segala variannya. Ingin mendapatkan proyek, menyuap. Ingin diangkat menjadi PNS, menyuap. Ingin menjadi caleg nomor “cantik”, ingin menjadi anggota DPR atau DPRD, ingin mendapat jabatan, uang pelicinlah mantranya. Untuk berbagai tujuan, uang tak pernah mengenal kasta.

Kian sedikit orang yang menghargai proses. Sesuatu yang alami, yang menyehatkan, yang menjamin terbentuknya keseimbangan jiwa dan pikiran, kadang dianggap buang-buang waktu, tak efektif, dan dianggap hanya bagi orang kurang kerjaan. Apakah ini dipengaruhi oleh budaya instan dalam berbagai aspek kehidupan saat ini? Hingga semua ingin serba cepat saji?
Sebuah prilaku yang kusut masai, ketika menjadi tren, maka kita dituntut untuk maklum. “Memang sudah zamannya, seperti ini,” demikian selalu kita katakan, untuk memanipulasi perasaan bersalah ketika kita akan menyuap seseorang untuk sebuah tujuan.

Alangkah rendahnya kualitas hidup kita, bila proses yang alamiah, yang seharusnya dijalani untuk memperkaya wawasan, budi pekerti, dan kemampuan, tak lagi dianggap sesuatu yang berharga. (Naz)***

Pak Umar di Depan Televisi


PAK Umar terpaku di depan televisi. Sambil menghirup inhaler, ia beberapa kali menghela nafas panjang. Dadanya terasa berat. Baru saja ia menyaksikan berita tentang perkelahian anak-anak pelajar. Ada geng perempuan (anak-anak gadis pelajar yang tentu sangat dibanggakan ibunya) yang berkelahi bagaikan kaum barbar. Beberapa pelajar lelaki menyorakinya, dua-tiga orang di antaranya bukannya melerai, tapi malah berlagak sebagai wasit. Dan yang lainnya merekam adegan itu dengan kamera telepon genggam. Masya Allah.

Berita beralih, yang ia lihat adalah suasana di ruang kelas. Seorang pelajar lelaki, yang nampak meringis tak berdaya, dilucuti pakaiannya hingga telanjang. Bukan oleh begundal dari negeri kaum bajingan, tapi oleh temannya-temannya sendiri yang kesetanan. Dan anehnya, ruang kelas dan juga lingkungan sekolah itu nampak aman sentausa bagi berlangsungnya kekejian itu. Kamera telepon genggam, merekam adegan itu dengan detil.

Belum lama ini, geng perempuan lain juga beramai-ramai menyiksa “anggota baru”. Pak Umar melihatnya di berita semua televisi nasional. Hal-hal busuk lain, dari lingkungan pendidikan seakan silih berganti muncul mengisi ruang keluarga kita. Kemajuan teknologi, menjadi perantara yang memperluas berita menyesakkan dada itu.

Pak Umar, yang kini menikmati masa tuanya dengan gaji pensiun pas-pasan, berlinang airmatanya. Puluhan tahun ia mengabdikan dirinya menjadi guru, menyusuri jalan desa yang berdebu bila kemarau, dan beceknya minta ampun bila musim hujan, sebelum tiba di depan bangunan sekolah sederhana, tapi selalu membuatnya bangga.

Baginya, inilah kehidupan yang sesungguhnya. Tempat di mana ia bisa mengabdikan kecintaan terhadap dunia pendidikan. Tempat di mana ia bisa dengan jelas melihat perkembangan jiwa muridnya, jiwa manusia-manusia yang mentah, polos, dan ia menjadi salah seorang yang turut membentuk jiwa-jiwa itu. Bayangkan, betapa mulianya.

Membentuk jiwa manusia, tidak seperti membentuk tanah lempung jadi benda semacam piala. Ia membutuhkan ketulusan, pengabdian, ketekunan, keteguhan iman, dan cinta yang keras kepala. Murid-muridnya tak hanya dijejali ilmu pengetahuan, tapi juga budi pekerti. Ia tak hanya “menyentuh” otak murid-muridnya, tapi juga hati mereka. Ini penting, karena kecerdasan tanpa kerendahan hati, tanpa kematangan jiwa, hanya akan melahirkan binatang sirkus.

Semua itu dikerjakannya karena ia seorang guru, profesi yang selalu lebih tinggi posisinya dibanding profesi lain. Guru, menurut Pak Umar, seharusnya adalah wujud dari kemuliaan, yang bahkan tak membutuhkan sertifikasi, atau sejenis omong kosong lainnya.***

Rindu Dongeng


DIAM-diam, saya merindukannya. Sesuatu yang pernah memacu imajinasi untuk mengembara ke padang yang tak terjangkau langkah, di masa kecil. Yang membuat dunia lebih berwarna bukan oleh rangkaian gambar yang banal, tapi oleh nuansa warna yang beriak lembut tapi kadang mempunyai liukan yang mengejutkan.

Yang saya maksud adalah dongeng. Kisah pendek yang diceritakan ibu sebelum tidur di masa kecil dulu. Yang tanpanya, seakan tak lengkap sebuah malam. Yang bikin kita ketagihan sebelum menjemput mimpi di lelap tidur.
Dongeng yang selalu diceritakan ibu dulu mungkin bukanlah dongeng yang istimewa. Ibu bukanlah tipikal pendongeng yang baik. Kadang kosa katanya terbatas, atau untuk beberapa kali terpaksa mengulang dongeng yang sama. Tapi tetap saja, dongeng yang ia ceritakan menghadirkan pesona yang mengasyikan, yang menyenangkan, meski kadang saya sendiri tak selesai menyimaknya, karena telanjur lelap.

Sebuah dongeng, meski selalu punya struktur cerita yang sederhana, dengan karakter yang hitam putih seperti dalam kisah “Peucang jeung Ténggék”, atau “Sakadang Kuya jeung Monyét”, “Si Kabayan”, “Sangkuriang”, dll, tapi selalu memberi ruang untuk kita memperkayanya dengan imaji kita sendiri. Hal ini mungkin karena dongeng tersebut disampaikan dengan sangat personal, hanya untuk kita sendiri, dengan bahasa yang sederhana, dengan gambaran yang tidak rumit. Tapi karena itulah ia punya nilai kearifan dan ketulusan; sesuatu yang hilang dalam dongeng modern yang ditunjukkan oleh sinetron, yang ditonton anak kita sebelum tidur.

Apa daya, kini bagi sebagian besar dari kita, televisi telah merampas peran kita dalam ikut memperkaya imajinasi anak-anak. Kita seringkali merasa tak cukup waktu untuk menghantar anak kita tidur dengan kisah-kisah yang dipetik dari kekayaan budaya kita sendiri, yang kaya dengan kearifan kultural, dan mampu menempatkan kita sebagai sumber dari imajinasi, yang bisa kita pakai sebagai media untuk menyampaikan nasehat tentang berbagai hal tanpa akan terasa menggurui.

Dongeng, adalah media yang selalu bisa kembali kita pakai, untuk menanamkan pelajaran sederhana tentang makna kebaikan dan keburukan, tatakrama, dan berbagai hal yang kelak akan ikut membentuk perilaku dan watak anak kita sendiri, kalau kita mau. (Naz)***

Buku Bacaan Anak, Apa Kabar?


APA yang menjadi bacaan favorit anak-anak sekarang? Jawabannya tentu adalah komik. Mungkin Detektif Conan, Avatar, Sinchan, atau komik Jepang sejenis. Jelekkah bacaan semacam itu? Tidak juga, meski tentu saja kurang cocok dibaca oleh anak-anak. Detektif Conan, adalah komik remaja yang bagi sebagian orang mungkin dianggap berbahaya karena menceritakan detail pembunuhan secara eksplisit. Namanya juga detektif, ke mana si Sinichi Kudo alias Conan ini melangkah, di situ pasti ada kasus pembunuhan. Avatar, meski bertokoh anak kecil bernama si Aang, tetaplah kisahnya lebih cocok dinikmati remaja hingga dewasa. Intrik perebutan kekuasaan dan wilayah disertai adegan peperangan, kurang begitu pas untuk anak-anak. Sinchan, apalagi. Di Jepang sendiri ini adalah komik untuk konsumsi orang dewasa. Ini semacam lelucon untuk meledek orangtua yang kadang bisa senewen oleh prilaku bocah yang sok dewasa. Hingga tak jarang muncul ucapan tak senonoh, atau gambar berbau saru di komik maupun filmnya.

Hingga awal tahun 1990-an, sebenarnya kita kaya dengan buku-buku bermutu untuk anak-anak. Meski banyak kekurangannya, proyek inpres untuk pengadaan buku-buku untuk sekolah dasar hingga menengah, dulu, patut diapresiasi. Melalui proyek pemerintah ini, buku-buku disuplai ke tiap sekolah untuk perpustakaan. Di antara buku untuk anak-anak, muncul nama pengarang dengan kualitas karya cukup dan bahkan sangat bagus. Sebut saja nama Julius Sijaranamual, Toha Mohtar, Ryono Pratikto, Dwiyanto Setiawan, Darto Singo (ini ayahnya Anggun C. Sasmi), Satmowi Atmowiloto, Arswendo Atmowiloto, CM Nas, dll. Karya-karya mereka, antara lain, telah ikut mewarnai imajinasi generasi 1980-an (yang suka membaca, tentunya).

Kalau pun tidak suka membaca buku di perpustakaan, bagi yang suka baca majalah remaja, di situ pun nyaris tiap terbitan tersaji cerpen atau pun puisi bermutu. Dulu majalah semacam Kawanku dan Hai, sangat intens menyajikan cerpen (dan puisi) dengan kadar sastra yang baik. Nama-nama di atas, adalah juga pengisi cerpen di majalah-majalah tersebut, selain Suyono Ahmad, Saeful Badar, HB Supiyo, Fadli Rasyid, Arie Nugroho, Leila S. Chudori, Abdusyakur Marjani, Darwis Chudori, dll.

Kini, jarang sekali majalah remaja yang menyertakan cerpen yang berkualitas sastra. Atas nama pasar semuanya menjadi gudang gosip dan trend gaya hidup yang diimpor dari luar.

Tentu saja, kita tidak bisa menghalangi arus tren yang mewarnai bacaan yang tersebar di tengah masyarakat. Tapi sebagai sebuah tanggung jawab atas nama dunia pendidikan, sudah selayaknya perpustakaan sekolah, menyediakan buku-buku bermutu sebagai penyeimbang bacaan picisan yang dibaca anak-anak. Ah, apa kabar perpustakaan sekolah sekarang? (Naz)***