Kamis, 08 Oktober 2009

Masjid yang Mesra


SEKIAN tahun lalu, masjid di kampung kami adalah sebuah bangunan sederhana. Separuh tembok dengan lantai plester semen, dan ke atasnya dibangun dari kayu dan bilik bambu. Yang paling menarik adalah atapnya yang tak berkubah, hanya ada bentuk suhunan kecil di atas atap yang lebih lebar. Suhunan itu menjadi semacam menara, dengan ruang berbentuk kotak sekira 2,5 m x 2,5 m. Inilah kubah dari masjid yang dibangun dengan swadaya murni warga kampung itu. Tanpa dinding, hingga selain mempunyai fungsi artistik, ia juga menjadi tempat menyimpan spiker toa.

Suhunan itu adalah sebentuk kemesraan antara masjid sebagai rumah ibadah, dengan kultur lokal di mana masyarakat berada. Bentuknya sederhana, tapi mampu menyatu dengan lingkungan, dengan rumah-rumah penduduk, dengan bangunan lain semisal bale kampung dan sekolah dasar.

Tak hanya di kampung kami saja, di kampung lain pun, yang masih berdekatan, bentuk menara masjid ya seperti itu. Tak ada menara yang menjulang, atau kubah berbentuk bawang yang mengkilap. Tapi demikianlah, masjid itu telah menjadi bagian dari kultur budaya kami, budaya Sunda yang mempunyai kekhasan dalam bentuk bangunan. Mungkin juga bentuk semacam itu ada pengaruh dari daerah lain, semisal dari daerah Jawa Tengah atau Jawa Timur, tapi toh tetap masih bersumber dari satu hamparan budaya.
Masjid itu sendiri, secara keseluruhan, adalah sebentuk keakraban dan keramahan. Di masjid itu, masa kecil generasi di kampung kami separuhnya dihabiskan. Tidak hanya belajar mengaji, tapi juga tidur dan bermimpi, dan mungkin secara diam-diam merancang masa depan. Siapapun yang kemalaman, bisa singgah dan beristirahat di sana. Pintu selalu bisa dibuka kapan saja. Tak ada yang takut kehilangan sesuatu, karena nyaris tak ada barang berharga, selain puluhan kitab suci Al Qur’an, dan perangkat pengeras suara.

Kini semuanya berubah. Kubah mentereng dibangun dengan pola yang diangkut dari Timur Tengah, yang sejak lama menjadi tren pembangunan masjid di negara ini. Hanya dalam literatur sejarah bisa kita lihat masjid dengan bentuk yang lebih “membumi”. Sebagai rumah ibadah ia masih selaras fungsinya, tapi bentuk arsitekturalnya telah tercerabut dan menjauh dari kultur budaya lokal.

Mungkin hal itu bukan sebuah kesalahan, tapi kok terasa ada yang hilang dari masjid yang baru itu. (Naz)***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar