Selasa, 06 Oktober 2009

P r o s e s


HIDUP menawarkan banyak pilihan. Tapi bagi banyak orang, kadang satu pilihan saja sudah cukup. Atau, mungkin juga pilihan yang satu itu, adalah arah terakhir yang dituju setelah yang lain bak jalan buntu. Karena memang demikianlah hidup, ia memberi kita banyak, tapi sekaligus juga dengan sekian rahasia di dalamnya. Antara lain, rahasia tentang sesusah apa dan bagaimana kita bisa meraih satu di antara cabang-cabang pilihan itu.

Carpe diem, kata Mr. Keating, dalam film Dead Poet Society. Raihlah harimu. Dengan kata lain, raihlah harapan di hari ini, karena kita tak pernah tahu, apakah masih ada esok.

Tak ada pengertian yang mudah untuk menjelaskan esensi dari harapan pada diri seseorang. Ada yang hanya ingin mendapatkan sesuatu dengan menghargai proses yang benar-benar bisa menyenangkan hatinya. Dan banyak pula yang tak peduli bagaimana semua itu dilakukan, yang penting hasil akhir. Bentuk yang diharapkan ada di hasil akhir itu, proses hanya sebentuk jalan yang bisa diluruskan dengan berbagai cara. Kita mengenalnya sebagai jalan pintas. Entahlah, begitu banyak orang yang berharap bisa melewati jalan pintas itu, dan tak mau bersusah payah menjalani proses sebagaimana mustinya.

Maka, kita pun mengenal kasus penyuapan, dengan segala variannya. Ingin mendapatkan proyek, menyuap. Ingin diangkat menjadi PNS, menyuap. Ingin menjadi caleg nomor “cantik”, ingin menjadi anggota DPR atau DPRD, ingin mendapat jabatan, uang pelicinlah mantranya. Untuk berbagai tujuan, uang tak pernah mengenal kasta.

Kian sedikit orang yang menghargai proses. Sesuatu yang alami, yang menyehatkan, yang menjamin terbentuknya keseimbangan jiwa dan pikiran, kadang dianggap buang-buang waktu, tak efektif, dan dianggap hanya bagi orang kurang kerjaan. Apakah ini dipengaruhi oleh budaya instan dalam berbagai aspek kehidupan saat ini? Hingga semua ingin serba cepat saji?
Sebuah prilaku yang kusut masai, ketika menjadi tren, maka kita dituntut untuk maklum. “Memang sudah zamannya, seperti ini,” demikian selalu kita katakan, untuk memanipulasi perasaan bersalah ketika kita akan menyuap seseorang untuk sebuah tujuan.

Alangkah rendahnya kualitas hidup kita, bila proses yang alamiah, yang seharusnya dijalani untuk memperkaya wawasan, budi pekerti, dan kemampuan, tak lagi dianggap sesuatu yang berharga. (Naz)***

1 komentar: