Rabu, 09 Desember 2009

Di Kelam Kabut

Nazaruddin Azhar


di kelam kabut

telah kudengar keluhkesahmu.
Di reruncing jarum kompas yang liar
wajahmu tak pernah benar-benar bisa disamarkan waktu.
Adakah penjelasan atas segala yang tak terhindarkan?

seumpama rongga di kelam kabut, celah-celah di hatiku
terbuka bahkan untuk getar suara dari kepak sesayup gema

sepasang sayap letihmu sampai padaku
membawa serta asin udara lain
tapi aroma kematian lebih kekal dari perasaan apa pun

kita pernah memilih sepi sekedar untuk sembunyi. Tapi
bagaimana mungkin bisa kuhilangkan Sabtu
dari seluruh hari-hariku?


2005

Sekeping Uang Logam

Nazaruddin Azhar

sekeping uang logam

sekeping uang logam menandai kesementaraanku
saat warung-warung setengah terbuka melemparku
dengan cangkang gincu. Tawa perempuan
di balik batu akik membuat ngilu ruas jariku
o, gerinda mimpi yang kasar! Mereka menggerayang
ke balik celana jins bertambal wajah tuhan

tapi tak kutemukan desahmu di bokong perawan berseragam
di kerling para penghuni keisengan. Pada retakan angin
sajakku lebih dingin dari tiupan malam paling rawan.

ingin kujumpai kamu, dengan sekeping uang logam
yang gemerincing di antara ruas usiaku. Apakah kau
memasang tarif untuk sebuah kesetiaan?

dengarlah, tengah kusiulkan namamu untuk lelawa yang riang.
Kubungkukkan wujudku pada redup lampu
sambil kuciptakan gang-gang lain, jalan melingkar yang sedikit licin
untuk mencapaimu. Kau pun mungkin butuh variasi
saat harus melihat seseorang menghampirimu, bukan?

dan, wahai, yang bersekutu dengan arus sungai-sungai
kenapa pula kalian memanggilku dengan rintih temaram itu?


2005

Koin untuk Prita


Hingga akhir tahun 1970-an, uang pecahan terkecil yang masih dipakai untuk transaksi ekonomi, adalah Rp 5. Lima perak, demikian kita biasa menyebut uang logam bergambar keluarga berencana tersebut.Pecahan uang logam lainnya adalah Rp 10, Rp 25, Rp 50, dan terbesar Rp 100. Seiring dengan makin melorotnya nilai uang Rupiah yang tidak bisa menghindar dari kuasa Dolar Amerika, nominal terkecil uang Rupiah semakin membesar. Uang logam pecahan Rp 5 hingga Rp 50 kini sudah tak dipakai lagi dalam transaksi keseharian kita. Karena, benda apa yang bisa kita beli dengan uang segitu? Uang logam Rp 100 pun kini sudah nyaris tak ada harganya, kecuali untuk melengkapi sejumlah uang yang lain. Derajatnya hanya sebanding dengan permen murahan yang biasa kita terima dari kasir di Dept. Store, sebagai kembalian karena "tak ada uang receh". Duit pecahan Rp 100, posisinya masih cukup mulia saat berada di dekat orang masuk angin, untuk kerokan.

Mungkin tak lama lagi, pecahan terkecil uang kita adalah Rp 500, kemudian Rp 1000. Mudah-mudahan saja Rupiah tak mengalami nasib seperti uang Zimbabwe, satu milyar hanya bisa membeli sekerat roti.

Uang logam kita yang semakin tak berarti ini, kini mencuat sebagai simbol yang maknanya tak main-main. Ia menjadi simbol perlawanan pada angkuhnya kuasa kapitalisme, menjadi media ledekan untuk penegak keadilan yang tidak punya nurani, sekaligus sebagai lambang yang menyatukan kekuatan yang selama ini selalu dianggap tak ada, atau dinafikan oleh penguasa.

Semua bermuara pada rasa keadilan yang tak kunjung mendapat tempat di dalam upaya penegakan hukum negeri ini. Hukum yang semakin tebang pilih, absurd, dan karenanya sangat mengecewakan. Uang logam atau koin yang dikumpulkan masyarakat untuk diberikan kepada Prita --ibu rumah tangga yang curhat tentang pelayanan mengecewakan RS OMNI Internasional kepada rekannya lewat email dan dinyatakan bersalah karena dianggap mencemarkan nama baik RS tersebut hingga terancam didenda Rp 204 juta-- adalah bukti dari semakin memuncaknya kekecewaaan masyarakat itu.

Kalau saja pihak penggugat, penegak hukum, Departemen Kesehatan,pemerintah, masih punya rasa malu, mereka tak akan menganggap upaya pengumpulan koin untuk Prita ini sebagai angin lalu. Mereka mestinya mampu membaca, bahwa selalu ada kekuatan tak terkira yang siap berontak, siap melawan, bila rasa keadilan masyarakat telah tercabik. Uang logam adalah simbol dari jiwa yang terpinggirkan, namun jiwa yang dipersatukan oleh kesewenang-wenangan adalah sebuah kekuatan yang tak akan terkalahkan. (Nazaruddin Azhar)***