Minggu, 17 Januari 2010

Rain, sebuah lagu dan tikungan senja


Kabut bersimpuh di kaki bukit. Udara terasa basah, dan Rain masih berdiri di tikungan jalan itu. Garis-garis awan memudar dan kian pupus dalam pandangannya. Ia berharap ada semacam keajaiban yang dibentuk awan-awan itu. Mungkin segurat wajah yang mampu memberinya sedikit ketenangan, bahwa seseorang memang tengah menantikannya. Mungkin juga sebaris jawaban atas gelisah yang menuntun langkahnya ke jurang di mana ia melihat ruang sedemikian lengang, dan sejenak lalu ia meneriakkan semacam kata, entah apa. Barangkali, sekalimat panjang kebencian yang lama bergulung dalam dadanya lalu memadat dalam teriakan keringnya.

Tapi siapa sebenarnya yang akan menunggunya? Jalan yang memanjang di belakangnya tak lebih dari sebentuk kesia-siaan. Tak ada seorang pun yang mencoba menyelamatkannya dari berbagai kutukan yang sejak lama mengerami otaknya. Kepalanya kembali berdenyut, seperti ada kehidupan lain yang memaksa ingin memecah batok kepalanya; di dalam pikiran yang tak sepenuhnya lagi ia miliki. Ia mencoba melihat kembali ke belakang, dan hanya ada jejak kakinya yang sejenak lalu juga telah musnah.

Apa sebenarnya yang bisa ia harap dari sebuah kehilangan? Bayang-bayang kegelapan berbaris seperti sebuah parade di kejauhan. Dan lamat-lamat ada semacam himne dari geriap angin di pucuk-pucuk dedaunan. Lalu wajah-wajah yang tak mampu ia tolak kehadirannya, kembali melingkar, sebagaimana biasa, seperti maut dengan candanya yang mengerikan.

Rain tak mampu lagi bergerak, di tepi jurang itu ia hanya menuruti sebuah dorongan gaib yang membuat langkahnya sedemikian ringan, dan ia merasa tubuhnya serupa debu yang tak punya kekuatan untuk menolak. Langkahnya sejenak melambat, tapi tak berhenti bahkan ketika ia tak mampu lagi menjejak batu seperti di dua langkah sebelumnya.

Ia merasa begitu ringan, dengan semacam keriangan yang aneh yang menyergap tubuhnya, lalu membawanya melayang ke sungai kering di bawahnya. Kilatan berbagai peristiwa seakan berlomba kembali hinggap dalam kenangannya. Warna-warna kusam sebuah lukisan, di sudut ruang di mana berabad lalu kesunyian bermula, dan menemukan wujudnya dalam beragam senyum paling palsu yang senantiasa ia lihat setiap hari, lewat jendela kamarnya yang dingin.

Rain melayang semakin cepat, rambutnya yang panjang meriap, membentuk kelebat hitam sebelum kepalanya menimpa batu yang sesaat memberinya rasa sakit tak terkirakan, ketika tubuhnya remuk dalam keheningan, untuk kemudian ia temukan kembali semacam kelahiran atas dirinya, dalam siklus yang terus berputar.
Di atas ranjang, di mana ia masih terbaring entah sejak kapan, ia kembali menyaksikan dirinya dalam peristiwa yang terus berulang dalam penglihatannya itu. Seperti film tua yang terus diputar, agar ia bisa menyaksikan dirinya sendiri dalam sebuah episode panjang kesendirian.

Dan dari CD player di sudut kamarnya, suara Bob Dylan seperti bergumam:

Silhuetted by the sea
circled by the circus sands
with all memory and fate
driven deep beneath the waves
let me forget about today until tomorrow...


3 Sept 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar