Rabu, 20 Januari 2010

Calung Tarawangsa Cibalong Tasikmalaya


MAK Enar (64) sudah duduk bersimpuh di panggung, menghadapi kecapi berdawai tujuh. Di sebelah kanan duduk Mang Oman (55) memegang tarawangsa (sejenis rebab, alat musik gesek berdawai dua). Sebelah kiri Mak Enar, duduk Yana (42) dan Yayan (36), masing-masih sudah siaga untuk memainkan calung rantay (alat musik dari bambu, mirip kolintang yang dirangkaikan dengan areuy, sejenis tumbuhan merambat). Lampu panggung meredup perlahan.

Beberapa saat kemudian, Mak Enar mulai memetik kecapinya, disusul alun suara tarawangsa dan kelontang calung rantay, mengiringi lagu “Bubuka”. Irama lagu yang lembut memenuhi relung sepi auditorium Gedung Kesenian Tasikmalaya. Penonton memandang panggung, pikiran dan perasaannya entah terbawa ke mana, diajak berkelana rangkaian nada yang terdengar seakan dari dunia lain, di luar dunia wadag tempat kita berlakon.

Usai lagu “Bubuka”, kemudian tersaji lagu “Ayun”, “Sejak”, dan “Panyungsi”. Wirahmanya nyaris serupa, terdengar asing karena di luar pakem irama diatonis atau pun pentatonis. Menurut beberapa ahli musik, irama calung tarawangsa konon disebut laras lindu. Syair yang dilantunkan Mak Enar pun tak begitu bisa dimengerti, berbahasa Sunda buhun. Meski demikian, tak mengurangi nilai yang sampai ke pusaran rasa kita. Calung tarawangsa, mempertemukan kembali rasa kesundaan manusia kiwari dengan salah satu kekayaan dari keluhuran seni manusia Sunda bihari.

Kepada penulis Mak Enar menyampaikan rasa bahagianya, karena hingga saat ini kesenian calung tarawangsa kian banyak yang mengundang untuk manggung. Meski tak setiap bulan, tapi grup calung tarawangsa “Dangiang Budaya” tempatnya berkiprah sejak usia 20-an, sudah melanglang ke beberapa kota di Jawa Barat.

“Pernah manggung di Indramayu, Tasik, Jakarta, dan paling sering di Bandung. Beberapa kali mentas ditonton oleh orang-orang sekolahan,” katanya sambil membetulkan kerudungnya. Kalau tidak di gedung kesenian, grup calung tarawangsanya main di kampus-kampus, katanya.
Di kampungnya sendiri, Kampung Cigelap, Desa Parung, Kecamatan. Cibalong, Kab. Tasikmalaya, yang mengundang tak pernah suwung. Baik untuk menghibur di tempat pesta pernikahan, atau pesta khitanan. Terutama, kata Mak Enar, di bulan Mulud dan bulan Rewah. Malah, katanya, grupnya sering juga diundang untuk menyembuhkan orang sakit. “Meski tak terlalu sering, tapi beberapa kali kita diundang untuk mengobati orang sakit,” kata Yayan, nayaga termuda di grup tersebut. Antara lain, kata Yayan, mengobati orang yang lumpuh, buta, dan orang yang kesurupan.

Menurut Oman, calung tarawangsa dipakai untuk terapi pengobatan sudah sejak dulu. Biasanya bila penderita sudah tak bisa atau bukan untuk disembuhkan oleh dokter. “Biasanya bila keluarga si sakit sudah bertanya kepada orang pintar. Umpamanya kepada ajengan. Nah, ajengan itulah yang suka mendapat ‘petunjuk’. Biasanya dengan kalimat ‘oh, ieu mah kudu ku kai bengkung ubarna’, atau, ‘ieu mah kudu meuncit kai’,” ujar Yana. Yang disebut “kai bengkung” itu tiada lain adalah tarawangsa, karena demikianlah sebutan orang kampung untuk waditra sejenis biola tersebut.

Menurut Oman, ‘mentas’ di tempat orang sakit biasanya di malam hari. Dari mulai pukul delapan malam sampai pukul dua subuh, sebagaimana kebiasaan bila mentas di tempat hajatan. Mereka main langsung di sebelah orang yang tengah sakit. Ada yang kemudian sembuh langsung dengan sekali main, ada juga yang sampai tiga kali main baru terlihat si sakit berangsur sembuh.

“Alhamdulillah, karena ijin Yang Maha Kuasa, si sakit biasanya biasanya bisa sembuh kembali. Misalnya, yang buta bisa melihat kembali dengan normal,” kata Oman. Bila mereka main untuk menyembuhkan orang sakit, kata Yana, mereka tak pernah mematok harga. Niatnya karena Allah, ujarnya.

Mereka sendiri pun tak mengarti mengapa suara calung tarawangsa bisa menyembuhkan orang sakit. Mereka hanya bisa mengutip perkataan orang-orang bahwa suara tarawangsa itu mempunyai aura gaib. “Kata orang-orang tua, waditra tarawangsa dulu mulai sering dimainkan waktu Prabu Siliwangi berkuasa di tatar Sunda. Sampai sekarang pun, baik saat main di pesta hajatan atau untuk menyembuhkan orang sakit, kadang-kadang ada orang yang melihat... eu... ya itulah... di kolong rumah atau di halaman,” ujar Yana, sebagian kalimat yang diucapkannya diberi penekanan gerak tangan. Yang ia maksud adalah, kadang-kadang ada orang yang melihat maung kajajaden (harimau jejadian), ikut menikmati suara tarawangsa. Dalam kultur masyarakat Sunda tradisional, ada kepercayaan bahwa Prabu Siliwangi hingga sekarang masih hidup, dan kadang-kadang menampakkan dirinya dalam wujud seekor harimau.

“Tapi, ya nggak pernah mengganggu,” kata Oman. Orang kampung yang mengundang juga sudah sama-sama faham, bahwa bila mengundang tarawangsa , akan datang juga “makhluk lain” yang ikut menyimak. Tapi, tentu saja tak setiap orang bisa melihat makhluk tersebut, hanya orang-orang tertentu saja. Satu atau dua orang.

Oman sangat percaya akan hal itu. Apalagi ia sendiri yang membuat alat musik tarawangsa yang biasa dimainkannya. Katanya, selalu ada rasa yang berbeda bila sebuah tarawangsa sudah layak untuk dibawa manggung. Bunyi dari gesekan dawainya akan terasa lain, seperti ada getar yang mampu menentramkan hati. Demikianlah, sebelum bunyi tarawangsanya belum ‘benar-benar menyentuh rasa’ ia akan terus membetulkannya hingga suaranya terdengar ‘sempurna’.

Oman sendiri membuat tarawangsa tidak hanya untuk dimainkan dirinya sendiri, tapi juga bila ada orang lain yang memesan. Satu buah tarawangsa biasanya dijual 250 ribu rupiah.

Semua bahan untuk membuat tarawangsa maupun waditra lain dalam seni calung tarawangsa menurutnya didapatkan di sekitar kampung. Bahan-bahan yang bisa dicari dengan mudah tanpa harus membeli. Seperti dawai untuk kecapi maupun tarawangsa biasanya memakai kawat baja bekas kawat kopling. Untuk alat menggesek tarawangsa memakai ijuk. Dan tali perangkai potongan bambu untuk calung, dibuat dari ‘areuy geweng’ sejening tumbuhan merambat di hutan yang liat dan kuat.

Kini Oman dan yang lainnya di grup calung tarawangsa “Dangiang Budaya”, sedang berusaha melatih anak-anak muda di kampungnya untuk regenerasi. “Insya Allah, kesenian calung tarawangsa akan selalu ada dan tak akan punah,” kata Yayan, optimis.*

Nazaruddin Azhar. Tulisan ini pernah dimuat harian umum Priangan (memakai nama Abu Jovin :)), dan diposting beberapa rekan di beberapa blog. Foto atas: Mang Oman sedang menggesek tarawangsa bikinannya. Foto oleh Nazaruddin Azhar. Semoga bermanfaat.

1 komentar:

  1. Saya suka calung mang ikut Minta ijin tag berita di web abdi. Nuhun....

    BalasHapus