Minggu, 17 Januari 2010

Si Gila



Bumi di kelam semesta, pada malam yang menua. Si Gila menghirup udara tawar yang dialirkan kesenyapan. Tawa yang sayup jauh di lubuk jiwanya, menjadi satu-satunya penghiburan atas segala perasaan kehilangan. Ia menyapa Tuhan dan bersenda dengan kenyataan bahwa semuanya hanya kehidupan.

Telah dinyanyikannya seluruh yang telah ia raih bersama seribu bayang-bayang dirinya. Terbang menuju pintu-pintu impian yang diarak angin sepanjang malam. Di bawah satu-satunya cahaya yang kerap menghilang di banyak persimpangan, tak ditemukannya lagi cermin, selain riak bayangan wajahnya di legam jalanan. Hakikat yang terangkum dalam diam, memberinya begitu banyak kata untuk berbicara pada ketiadaan. Dan sebagai kekasih angin, ia mendapatkan begitu banyak pintu yang terbuka sepanjang perjalanan.
Ia menemukan suaranya di banyak kata. Tawa dan kadang tangisnya mengental di sekian tanda baca, pada kalimat panjang keasingan. Dan selalu setiap ia seakan mampu meraih jawaban, pertanyaan lain tumbuh dari ketidakmengertian. Kefanaan abadi, yang tak terelakkan.

Sunyi mengulang dirinya pada tempat-tempat tak dikenal. Pada wujud yang selalu berbeda ia bertemu dirinya. Kesendirian yang selalu minta ditandai kadang dengan omong kosong kesedihan, atau luap haru keriangan. Anak-anak bersayap keemasan. Seorang ibu berwajah pilu melambaikan kenangan. Botol-botol kosong keisengan. Air muka orang-orang saleh menetes ke luar jendela rumah peribadatan. Kejahatan menunggu di luar iman, berkelebat bagai mata parang dalam ayunan kekosongan.
Ia mencari aku yang lelap dalam jiwanya, membangunkanku dari tumpukan ingatan yang menua dalam ketololan.

"Mengapa harus tidur, kalau saat terjaga pun kita masih juga bermimpi?" Ia menatap bayangan wajahnya pada wajahku.

"Karena aku bukan Tuhan yang tak pernah tidur," aku menjawab dengan mulutnya.

Ia tertawa, tengadah pada keluasan cakrawala. Kegelapan menyahut, gema menjalar hingga ke ujung kabut.

Impian tiba-tiba menjadi tema pembicaraan kami sepanjang mimpi. Apakah Tuhan yang langsung mengatur, mimpi apakah yang akan kita dapatkan saat kita tidur? Mengapa impian manusia tak pernah ada yang sama kecuali saat mereka terjaga?

"Aku ingin tahu, apakah Tuhan punya arsip dari impian seluruh manusia sepanjang masa…" ia bicara pada dirinya sendiri lewat hatiku. Kami lalu bersama-sama berkhayal, seandainya arsip itu ada, maka seberapa besarkah ruang untuk menyimpannya? Apakah seluruh jagat raya ini cukup untuk menampungnya? Telah beribu tahun manusia menghuni dunia. Datang dan pergi. Menempuh hidup. Dan karenanya mereka akan selalu bermimpi sepenuh hidupnya. Bermiliar manusia, berapa jumlah mimpi mereka seluruhnya? Dan apakah Tuhan juga telah menyusun program; mimpi apakah yang kelak akan didapatkan anak cucu kita beribu tahun ke depan?

"Jadi berapa jumlah mimpi manusia itu seluruhnya?"

"Mungkin sebanyak partikel cahaya bulan..."

"Cahaya matahari…"

"Juga bintang,"

"Dan jangan lupa cahaya pelita, lilin, petromak, neon, senter, cahaya lampu kecil pada HP, radio transistor, komputer, kunang-kunang …"

"Cahaya semua yang mampu bercahaya."

"Ya."

Kami sepakat dan karenanya kami makin tak mengerti. Pertanyaan susulan menggedor-gedor sarap lunak otak kami. Suaranya teramat keras. Kadang seperti suara kaki yang berlari. Kadang seperti ketukan tak sabaran menunggu pintu dibuka. Kadang seperti suara senjata mematikan pada sebuah perang yang penuh kebencian dan sekaligus cinta. Tapi karena suara itulah yang membuat kami lalu menyanyikan ketidakmengertian kami. Anak-anak bersayap keemasan melantunkan koor yang megah di angkasa. Sambil bersiutan bersama burung-burung gaib yang muncul dari semak kesunyian. Seorang ibu berparas pilu telah melahirkan kami yang lain, yang kemudian tumbuh dalam botol-botol kekosongan. Dalam genggaman orang-orang saleh botol-botol itu memberinya anggur memabukkan. Menjadikannya si gila yang lain dengan tarian khusyuk sepanjang musik yang dimainkan musim. Mereka kian banyak jumlahnya. Dan menyatu dalam satu pikiran yang senantiasa menyertai kami sepanjang keisengan.

Bumi di kelam semesta, pada malam yang menua. Si Gila berjalan sendiri. Orang-orang telah larut di peluk mimpi.

Mengapa harus tidur, kalau saat terjaga pun kita masih juga bermimpi?
Ia terus berjalan. Menyerap gairah kabut, debu, dan semua perasaan kehilangan jadi sebentuk senandung.

Ia tidak tidur dan tak ingin lagi berpikir tentang mimpi. Apakah Ia selalu terlibat dalam mimpi setiap manusia? Ah...

Sepi melolong, pada sebuah kalimat yang minta diakhiri.***

1 komentar:

  1. kegilaan yang asyik niy...good job! (ri:: masih ingatkah padaku kang?)

    BalasHapus